Halokantinews.com.Jakarta – Jargon ‘TNI Anak Kandung Rakyat’, ‘Bersama Rakyat TNI Kuat’, ‘Manunggal TNI dengan Rakyat’, dan berbagai slogan sejenis lainnya, terasa hambar tiada makna apa-apa. Pasalnya, terdapat sekian banyak oknum tentara yang perilakunya ibarat pepatah ‘Jauh Panggang dari Api’. Sikap dan tindakannya berbanding terbalik dengan jargon dan slogan yang digembar-gemborkan TNI selama ini.
Hal itu disampaikan oleh alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, kepada jaringan media se-nusantara ketika dimintai tanggapannya tentang kasus tewasnya Imam Masykur akibat dianiaya seorang oknum TNI dari satuan Paspampres. Sebagaimana ramai diributkan di seantero negeri dalam dua hari ini bahwa oknum Paspampres, berinisial Praka RM disinyalir telah melakukan penculikan, penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap Imam Masykur (25), pria asal Mon Desa Keulayu, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh.
“Cukup banyak kasus yang disampaikan ke saya terkait perilaku buruk tentara terhadap warga masyarakat. Mulai dari KDRT dan penelantaran istri dan anak, penyiksaan tukang parkir, penculikan, penghilangan nyawa orang secara paksa dan rahasia dengan berbagai dalih dan modus, pembunuhan berencana, hingga kepada sikap arogan oknum-oknum tentara terhadap warga. Buat saya ini mengherankan, karena TNI gencar pasang spanduk, baliho, dan iklan di media-media yang pada intinya TNI dan rakyat itu saudara,” ungkap Wilson Lalengke, Minggu, 27 Agustus 2023.
Fenomena itu, menurutnya, merupakan salah satu pertanda bahwa kalangan tentara Indonesia sedang dilanda penyakit penurunan moral atau biasa disebut penyakit moral decadence (kemerosotan moral). Oknum-oknumnya dikategorikan sebagai manusia amoral. Ada beberapa faktor yang dipandang sebagai pemicu munculnya penyakit semacam ini di kalangan kelompok khusus seperti TNI, Kepolisian, dan/atau kelompok keagamaan, kampus, dan lain sebagainya.
Pertama, kepedulian lingkungan terdekat dari seorang tentara, seperti orang-orang dalam kesatuannya. “Termasuk yang paling kuat menjadi pemicunya adalah kurangnya perhatian pimpinan atau atasan dari si tentara itu. Keadaan yang kurang nyaman bagi dirinya akan memunculkan rasa frustasi dalam dirinya, yang pada akhirnya dilampiaskan dengan melakukan hal-hal di luar nalar manusia normal. Mungkin karena kompensasi rasa frustasinya itu tidak tersalurkan di internal komunitasnya, menyebabkan dia mencari mangsa atau sasaran kemarahannya di masyarakat,” jelas mantan dosen pengasuh mata kuliah Filsafat dan Logika Ilmu di Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara itu.
Kedua, masih menurut Wilson Lalengke, pengaruh teman seperjalanan atau sepermainan dalam kelompoknya juga amat besar menimbulkan masalah bagi seseorang, termasuk di kalangan militer. Dalam kasus penyiksaan hingga menghilangkan nyawa Imam Masykur misalnya, ternyata Praka RM melakukan kejahatan kemanusiaan itu bersama dua orang rekannya.
“Artinya, faktor pengaruh teman ini menurut saya sangat berperan dalam kasus kematian warga Bireuen itu. Bisa jadi, si oknum Paspampres ini merasa percaya diri melakukan kejahatannya karena dihasut atau dimotivasi oleh rekan-rekannya. Jika saja kedua teman yang menyertainya itu memiliki moral yang baik, tentunya mereka berdua bisa mencegah terjadinya tindak pidana pembunuhan saat itu. Bahkan bisa jadi aktor intelektualnya adalah orang yang bersama oknum RM, sehingga kedua rekannya itu juga harus ditindak seberat-beratnya, jika perlu dikenakan hukuman maksimal hingga pidana mati,” tegas lulusan pasca sarjana bidang Etika Global dari Universitas Birmingham, Inggris, ini.