Masyarakat OKI Meminta Pemerintah dan Aparat Berwenang  Mengedukasi Pedagang Agar Lebih Mengutamakan Perlindungan Konsumen

Pelaksanaan pembatasan penggunaan HKT yang tersambung jaringan seluler melalui pengendalian IMEI ini berlaku ke depan. Artinya, perangkat HKT yang sudah digunakan dan tersambung ke jaringan seluler sebelum 18 April 2020 tidak akan terdampak aturan ini meski tidak terdaftar dalam database IMEI. Perangkat tersebut dapat tetap tersambung ke jaringan bergerak seluler sampai tidak ingin digunakan lagi atau telah rusak.

Jika akan melakukan pembelian HKT secara offline atau langsung ke toko setelah tanggal 18 April 2020, maka masyarakat wajib memastikan perangkat HKT tersebut memiliki IMEI yang sah dan dapat diaktifkan dengan kartu SIM sebelum melakukan pembayaran.

Sementara apabila melakukan pembelian secara online atau daring, maka penjual memiliki kewajiban memberikan jaminan sampai perangkat diterima dan dapat digunakan pembeli. Apabila setelah diterima tetapi tidak dapat digunakan, jaminan yang diberikan dapat berupa refund (pengembalian uang) atau penggantian barang.

Melindungi Konsumen dan Industri

Sebenarnya, regulasi pengendalian IMEI perangkat telekomunikasi bukan lah hal baru di industri telekomunikasi. Sudah banyak negara yang menerapkan regulasi ini, di antaranya Turki (2006), Mesir (2010), Amerika Serikat (2012), Kenya (2012), Malaysia (2014), Pakistan (2018), dan lainnya.

Adapun alasannya adalah mulai dari mencegah atau mengurangi perdagangan ponsel curian, mencegah hilangnya potensi pajak, mengurangi kehilangan pendapatan akibat penjualan ponsel ilegal, juga untuk mencegah kompetisi yang tidak sehat.

Atas alasan itu pula Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2020 ini lahir. Pengendalian IMEI menjadi langkah nyata pemerintah untuk mencegah peredaran perangkat telekomunikasi ilegal yang merugikan masyarakat, industri, operator seluler, dan negara.

Dari sisi negara, salah satu kerugian yang nyata adalah potensi kerugian penerimaan pajak dari penjualan ponsel. Menurut data Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), potensi kerugian pajak yang timbul akibat beredarnya ponsel ilegal sekitar Rp2,8 triliun per tahun. Angka tersebut didapatkan dari banyaknya ponsel ilegal yang beredar di pasaran Indonesia.

Baca Juga :  Masyarakat OKI Tumpah Ruah Saksikan Pawai Kemerdekaan

Menurut perhitungan APSI, jumlah ponsel ilegal yang beredar di Indonesia sekitar 20 persen dari total ponsel yang mencapai angka 45 juta unit, atau sekitar 9 juta unit. Dari 9 juta unit ponsel ilegal yang harganya rata-rata adalah Rp2,5 juta, maka bila ditotal sekitar Rp 22,5 triliun.

Sementara, kerugian penerimaan pajak bisa dihitung dari pajak yang harusnya diberlakukan untuk penjualan ponsel, yakni pajak penghasilan sebesar 10 persen dan pajak pertambahan nilai sebesar 5 persen.

Jika dihitung, maka pajak yang dibebankan kepada 9 juta unit ponsel ilegal tersebut harusnya adalah 15 persen dari Rp22,5 triliun. Sehingga, nilai pajak yang harusnya diterima pemerintah adalah Rp2,8 triliun. Bahkan bisa saja lebih, mengingat data APSI pada 2019 diperkirakan ponsel ilegal yang beredar mencapai 30 persen.

Selain itu, pengendalian IMEI ini juga untuk memastikan perlindungan konsumen dalam membeli perangkat telekomunikasi dan menggunakan perangkat yang legal, serta memberikan kepastian hukum kepada operator seluler dalam menyambungkan perangkat yang sah tersebut ke jaringan telekomunikasi.

Selanjutnya, kebijakan ini bermanfaat pula bagi masyarakat untuk dapat melakukan pemblokiran perangkat yang hilang dan/atau dicuri melalui operator seluler masing-masing sehingga diharapkan dapat menurunkan tindak pidana pencurian perangkat HKT. (Red)